Bagian 44
MURSHID AT-TARBIYYA
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani
Tahap tertinggi dari irshad bagi ulama dalam membimbing ummah adalah Murshid at-Tarbiyya, “al-‘ulama warithat al-anbiya.” Semua ilmu awliya hanyalah setetes saja dari Samudera Ilmu Nabi s.a.w., yang dibukanya untuk semua awliya. Dari awal hingga akhir itu hanyalah setetes dari Samudera, jadi bayangkan saja apa yang diberikan Allah S.W.T. kepada Nabi s.a.w.
Tulisan serial ini adalah tentang Mursyid Hakiki dan Awliya Thariqat Naqshbandi. Mereka yang mendapat kesempatan untuk berjama’ah dengan mereka, maka memiliki kesempatan untuk mendapat manfa’at dari mereka. Mereka yang tidak memiliki kesempatan itu atau belum mengambil bay’at‘ dengan salah satu Mursid demikian itu, maka mereka telah kehilangan kesempatannya.
Suatu kali Grandshaykh Sharafuddin membahas apa yang dikirimkan awliya. Pada majelis itu terdapat ribuan, kadang-kadang ratusan ribu murids dalam jema’ahnya. Satu malam mereka duduk dan seorang asing datang. Shaykh Sharafuddin memandang kepada jantungnya dan mengamati bahwa orang itu tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh manfa’at ajaran luhur yang umumnya datang dalam majelis yang demikian itu.
Untuk mencegah majelis itu jangan sampai turun tahap (maqam)nya dan agar supaya mempertahankan itu pada tahap tinggi, dia berkata, “Wahai anakku. Aku sedang memikirkan kamu.” Dia tidak mau menyia-nyiakan waktu murid dengan berbicara pada tahap (maqam) rendah atau dengan mendapat pertanyaan (dari orang yang baru datang itu), dst. Yang akan mengganggu aliran informasi. Shaykh Sharafuddin memiliki sebuah jubah yang sangat indah sebagai hadiah kepadanya dari Sultan Abdul Hamid. Jubbah itu didekorasi dengan tujuh ratus ribu keping emas, penuh dengan rajutan benang emas, dsb.
Dia ingin menunjukkan kepada murid nya bahwa dia tidak memiliki ikatan kepada jubah itu dibanding dengan nilai dari majelis itu, maka dia berikan jubbah itu kepada orang asing itu. Orang asing itu sangat bergembira, dan pada saat yang sama khawatir bahwa shaykh itu akan mengambil jubbah itu kembali, maka dia pamit secepatnya. Itulah sebabnya suhbat seperti itu hanyalah bagi pengikut ahl as-sunnah wal-jama‘at yang berpegang teguh pada setiap sunnah dan pemahaman hakikat spiritual.
Kita menjelaskan sebelum ini tiga macam murshid : tabarruk, tazkiyya, dan tasfiyya. Tiga tahap yang berbeda ini dapat saja terjadi di tariqat manapun. Murshid tariqat manapun dapat mencapai tiga tahap ini. Namun tahap Murshid at-Tarbiyya hanya terdapat di tariqat Naqshbandi. Allah swt telah menganugerahkan (tahap) itu kepada tariqat Naqshbandi. Tahap apapun yang dicapai para mashaykh tariqats lainnya itu, mereka hanya mencapai tahap Murshid at-Tasfiyya. Namun Mursid Naqshbandi dan telah mencapai tahap tarbiyya telah melewati tiga tahap yang digambarkan sebelumnya itu.
Murshid at-Tarbiyya, pembimbing yang menaikkan murid, agar supaya mencapai tahap itu dia harus mencapai tahap ijtihad, al-ijtihad al-mutlaq (absolute). Bukan hanya dalam shari’ah, tetapi juga dalam haqiqat. Dalam bahasa Arab hal itu adalah sama dengan, tawkeel al-shamila, kuasa mewakili (the power of attorney). Terdapat power of attorney umum (general) dengan kuasa khusus, dan kuasa yang lebih luas, terdapat pula power of attorney lengkap (complete). Dan di atas itu, dalam tradisi Arab kita, terdapat wakalat shamila kamilat mutlaqa: power of attorney umum, lengkap dan tak-berakhir.
Dalam Islam, Hukum Ilahiah yang kita ikuti, shari‘ah, ditujukan kepada situasi kehidupan secara luas, pikiran terbuka. Kita dapat berpisah dan kemudian bercerai tanpa kembali kepada pasangan kita, tanpa berbicara kepadanya. Kita dapat mengawini seseorang yang tidak hadir (in absentia), dan berkumpul dengan pasangan itu pada waktu kemudian. Jadi Murshid at-Tarbiyya ini diberikan kuasa umum, lengkap dan tak-berakhir dalam membuat putusan juristik shari‘ah, maupun putusan dalam hal hakikat. Ini adalah murshids yang dimaksud Allah dalam sabda Nya, rijaalun sadaqu ma ‘ahadallahu ‘alayh; mereka mendapat kepercayaan penuh Allah.
Grandshaykh Abdullah Faiz, semoga Allah mensucikan ruhnya, berkata terdapat sembilan awliya yang doanya akan diterima Allah dan merubah apapun yang mereka minta dari (yang tercantum dalam) lawh al-mahfoudh. Mujtahid mutlaq in shari‘ah and haqiqat. Ketika Grandshaykh ditanya oleh Grandshaykh-nya, Shaykh Sharafuddin, untuk menerima tahap irshad seperti itu oleh shaykh-nya, dia berkata, “Jika engkau bertanya saya menjawab tidak.” Shaykh Sharafuddin berkata, “Ini adalah perintah dari Nabi s.a.w..” Grandshaykh berkata, “Jika itu adalah perintah, ala raasee wal-ayn. Maka saya akan menurutinya, tetapi kalau itu hadiah (pemberian), maka saya tidak menerima tanggung jawab seperti itu. Saya tidak menerima, kecuali dengan satu syarat.” Malam itu dalam pertemuan awliya dalam majlis nabi-nabi, Grandshaykh Sharafuddin mendiskusikan situasi itu dengan Nabi s.a.w.. “Dia tidak menerima, kecuali dengan satu syarat.” Nabi berkata, “Tanyakan apa syaratnya.”
Hari berikutnya dia mendatangi murid-nya, dan mengikuti perintah Nabi Muhammad saw., Shaykh Sharafuddin bertanya kepada Shaykh Abdullah apa syaratnya. Shaykh Abdullah menjawab, “Dalam masa kini terdapat begitu banyak kegelapan, kebodohan (ketidak-pedulian), kebohongan, penghianatan, racun, dan penipuan. Dalam kegelapan seperti itu yang hadir pada masa kini, tidaklah cukup setahun atau limabelas tahun atau seratus tahun untuk mencapai keberhasilan spiritual tahap manapun. Murid-muridku, mereka bahagia dalam majlis saya. Tetapi begitu mereka berjalan keluar pintu, nafsu buruk akan menyeret mereka ke bawah lagi. Jadi mengapa membuang waktu saya, jika lebih baik saya membaca awrad dzikir saya sendirian.” Shaykh Sharafuddin berkata, “Jadi apa yang kamu kehendaki ?”
Shaykh Abdullah berkata, “Saya menginginkan sebuah hadiah dari Nabi s.a.w., bahwa barang siapa duduk dalam majlis saya, mendengarkan pembicaraan saya, tanpa melakukan apapun atas prakarsanya sendiri, saya mohon izin untuk mengangkat dia kepada tahap saya. Tidak hanya itu, jika saya berbicara tentang wali yang manapun dalam majlis saya, wali manapun yang saya sebut, saya menghendaki murid-murid saya diberi perkenan mendapatkan tahap wali itu. Jika tidak, saya tidak memerlukan (jabatan – tahap) itu.” Kamu lihat tahap Murshid at-Tarbiyya? Dia tahu bahwa kita tidak akan mendapatkan apapun dengan upaya kita sendiri. Seperti seorang ayah dengan anaknya, dia menanggung seluruh tanggung-jawab. Bahkan ketika mereka telah dewasa dan hilir mudik di jalanan, orang tua akan berbuat terbaik untuk anak mereka.
Grandshaykh Sharafuddin berkata, “Saya akan tanyakan.” Dalam diwan al-awliya Shaykh Sharafuddin berkata, “Abdullah Effendi menyampaikan syarat demikian.”
Nabi s.a.w. berkata, ana raadi, anaa raadi, ana raadi - “Saya terima! Saya terima! Saya terima!” dengan tangannya diletakkan di dada (jantung)nya. Dan dia menambahkan, “Tak seorang walipun sebelum ini yang memohon kepada saya seperti itu untuk murid-murid nya.” Itu berarti Nabi s.a.w.tidak menunggu kita untuk maju (progress) dalam tariqat, karena dia tahu kita tak dapat berbuat apa-apa pada waktu ini.
Kita adalah mujtahidin mutlaq, yang berarti tidak seorangpun dapat membuat sebuah deduksi (kesimpulan khusus) ketetapan juristic dari shari‘ah atau haqiqat kecuali Murshid at-Tarbiyya; dia adalah yang tertinggi. Di atas kuasa itu, dia harus jauh mendalami dan mendapatkan hakikat dan kepastian dan mendapatkan pengakuan kebenaran (authenticated) bagi semua ilmunya dan mendapatkan konfirmasi/pembuktian dari semua ilmunya yang berada dalam kawasan ‘ilm al-yaqeen, ‘ayn al-yaqeen and haqq al-yaqeen.
Tahap murshid ini mirip dengan saluran digital yang kini kita miliki (dalam bidang komunikasi), multiplexed dari satu satellite, signals yang dapat dilihat dan didengar serentak, dan bukan maya namun sangat nyata, dengan kepastian lengkap. Murshid at-Tarbiyya itu tidak sedang mengalami imaginasi atau illusi, namun sesungguhnya hidup dalam waktu atau tempat itu, dengan memiliki kapasitas pendengaran dan penglihatan mutlak (paling tinggi yang dapat dimiliki manusia).
Murshid itu hadir di semua kenyataan sebagaimana dia hidup dimasa lalu, masa kini dan bahkan masa datang, sampai saat Hari Pengadilan. Allah S.W.T. mengkaruniakan kepadanya lima elemen yang berbeda dari Irshad: Pertama adalah Asuhan Allah (inayatullah), kedua Asuhan Nabi, penampakan dan dukungan (inayat an-nabi), ketiga Asuhan para Pembimbing Terdahulu dan penampakan (vision) (inayatanmin al-murshideen al-‘idham), Keempat Asuhan Grandshaykhnya (inayat al-murshid) dan Kalima Asuhan dan penampakan dari dua malaikat di pundak bahu kanan dan kiri (inayat Kiram Katabeen).
Murshid ini diperkenankan mengetahui semua rincian dari Hari Perjanjian, ketika ruh ditanya, “Bukankah Aku Rabb-mu?” Mereka berkata, “Ya.” Allah bertanya kepada ruh “Siapa Aku dan siapa kamu?” Ruh menjawab, “Engkau adalah Rabb kami dan kami adalah abdi Mu.” Pada saat itu Allah merencanakan semua hal yang semua orang harus lakukan dalam hidupnya sebagai tanggung jawabnya. Itu adalah ‘alam al-meethaq – Dunia Perjanjian. Pada saat itu, Murshid at-Tarbiyya berada di sana dan mengetahui nya secara rinci dan ketika dia datang ke dunia dia masih ingat saat itu dan rinciannya.
Berapa orang Murshid at-Tarbiyya datang sejak masa Nabi s.a.w. hingga sekarang?
Allah memberinya ilmu dari semua Awliya-ullah, dari sejak saat Sayyidina Adam sampai kepada Hari Pengadilan, dengan nama dan ilmu mereka. Ini adalah kunci khusus seorang Murshid at-Tarbiyya. Para shaykh adalah pewaris para Nabi. Bukan seperti ulama masa kini yang terkadang mereka begitu tidak peduli, mereka hayan memiliki satu macam ilmu saja, yaitu Ilmu Syariah. Sedangkan ‘Ulama Pewaris Nabi adalah Ulama salih dan bersungguh-sungguh , dan mereka mewarisi kedua-dua macam ilmu : ‘ilm ash-shari‘ah (hukum) dan ‘ilm al-haqiqat (spiritualitas).
Karakteristik lain yang diberikan kepada Murshid at-Tarbiyya oleh Allah adalah perubahan apapun yang terjadi pada lawh al-mahfoudh, dia tahu tentang itu. Sedang untuk 24,000 napas setiap murid, murshid itu akan tahu status muridnya dan tahap (maqam) dari setiap napas ini. Metabolism, pernapasan, tahap kimiawi, reaksi syaraf, dan buluh capillaries terkecil, dia menyadari setiap dan masing-masing perubahan di dalamnya. Jika kamu menaruh pipa capiler (yang lebih kecil dari sehelai rambut) dalam satu garis, mereka mencapai jarak dari bumi ke bulan. Terdapat tiga trilliun sell dalam tubuh. Murshid at-Tarbiyya itu menyadari kesemuanya. Semua keterangan ini, kemampuan dan kuasa datang dari setetes Samudera Nabi s.a.w. Orang masa kini bermain-main di dunya ini. Itulah sebabnya ketika mereka mulai menyadari hakikat ini mereka meninggalkan perhatian mereka terhadap dunya ini. Hanya satu kali menyelam kedalam Samudera Hakikat ini telah mendatangkan kebahagiaan cukup bagi mereka, dalam hidup ini dan di Kehidupan Abadi.
Murshid at-Tarbiyya harus tahu sumber kehidupan murid-nya, ilmu murid-nya di dunya, dan kondisi tubuh murid itu dari sejak diciptakan hingga pada Hari Pengadilan.
Dia harus mengetahui setiap huruf Arab, yang berada di lawh al-mahfoudh, karena itu adalah lughat ahl al-jannat. Apapun yang tertulis di sana, dia harus tahu berapa huruf dituliskan dari awal hingga akhir. Bukan (hanya) dua puluh tujuh huruf dari alphabet, namun setiap huruf sebagaimana muncul di lawh al-mahfoudh, satu demi satu, dianggap sebagai sebuah huruf tunggal (individual).
Bihurmat al habeeb wa bi hurmat al-Fatiha.
Dikutip dari http://mevlanasufi.blogspot.com