Selasa, 02 Juni 2009

Marah

Marah
The Teachings of Grandshaykh Abdullah Faiz ad-Daghestani
by Maulana Shaykh Nazim al-Haqqani


Islam datang untuk mengajarkan manusia sifat yang baik. Islam berperang melawan sifat buruk dan sifat yang paling buruk adalah marah! Siapa saja yang marah mempunyai semua sifat buruk. Dia yang tidak bisa meredam amarahnya tidak bisa menjaga Imannya, tidak juga ibadah baiknya.

Sifat marah menghapuskan semua hal baik; tak ada yang tersisa ketika amarah muncul. Oleh karena itu, Rasul (saw) kita memerintahkan umatnya agar menghindar dari sifat marah ketika beliau bersabda, "Pegulat yang paling kuat ialah dia yang bisa meredam amarahnya!"

Siapa saja yang ditaklukkan oleh amarahnya, dia termasuk orang yang tidak berguna dan tidak bisa menjadi hamba Allah yang Maha Kuasa. Ini karena saat dia marah, dia akan meninggalkan semua hal demi amarahnya. Ini artinya egonya memerintahkan dia. Dia berada di bawah perintah egonya dan dia tidak bisa mematuhi Tuhannya.

Kita harus selalu berlatih meninggalkan sifat marah. Suatu ketika, kami sedang duduk bersama Grandsyeh kami dan pelayan beliau yang sudah tua. Saat kami sedang duduk, seekor lalat hinggap dan menggigit pelayan tersebut. Segera ia menjadi marah dan membunuh lalat itu. Grandsyeh kami melihatnya dan memberitahu saya, "Katakan padanya, Nazim Effendi, bahwa dia harus bangkit dan memperbaharui wudunya. Wudunya sudah tidak baik. Wudunya sudah hilang bersama kemarahannya."

Membunuh seekor kutu dengan kemarahan bahkan merupakan tindak kejahatan, suatu dosa! Amarah adalah sifat yang paling buruk. Semua pemerintah berperang demi sifat marah dan semua orang juga. Amarah tumbuh; bagaikan lautan bagi semua sifat buruk. Bila kamu bisa mengeringkan lautan tersebut, tak ada lagi sifat buruk bisa hidup di dalamnya - tamat. Ini adab yang amat, sangat baik. Kamu harus memanfaatkan ini, karena ini termasuk perintah Allah, RasulNya (saw) dan semua aulia.

Grandsyeh kami adalah seorang dokter yang ahli untuk penyakit yang berkaitan dengan ego. Inilah resep beliau bagi kita ketika kita sedang marah: Jika kamu sedang marah, pergi dan lakukanlah wudu. Ini karena kemarahan adalah api, dan api akan sirna dengan air. Oleh karena itu, lakukanlah wudu.

Kemarahan hanya diperbolehkan bagi ego kita. Jika kamu harus marah, marahlah dengan nafsumu, yang menjauhkan kamu dari Tuhanmu! Saya akan ceritakan kepada kalian satu kisah, juga dari Grandsyeh kami, mengenai hal ini:

"Seorang 'Majdhub' adalah orang gila, tapi bukan dalam artian yang umum. Dia adalah orang yang 'gila' karena Allah. Dia berada di atas orang-orang biasa, di atas tingkatan yang berbeda dari mereka. (Sebaliknya, seorang 'majnun' adalah orang gila, yang dalam artian umum; dia berada di tingkatan yang lebih rendah dari orang biasa). Suatu ketika, hiduplah seorang majdhub di suatu kota tertentu. Suatu hari, dia sedang berjalan-jalan saat dia berpapasan dengan sekolompok anak-anak yang sedang bermain. Begini, anak-anak tahu ketika seseorang berada dalam tingkatan yang luar biasa. Mereka senang berlarian mengejar orang tersebut dan membuat kesulitan terhadapnya. Maka, suatu ketika seorang anak laki-laki melempar batu kepada majdhub tersebut dan mengenainya di kepala.

"Segera ketika batu mengenainya, majdhub tersebut mulai menampar dirinya sendiri, sambil berkata, 'Pulanglah ke tanah negerimu! Pulanglah ke rumahmu!' Ketika anak-anak yang terheran-heran menyaksikan, majdhub itu terus melanjutkan perjalanannya, sambil memukul dirinya sendiri dan berulang-ulang mengucapkan, 'Pulanglah ke rumahmu! Pulanglah ke rumahmu!'"

Apa makna dari cerita ini? Grandsyeh kami menyampaikan bahwa majdhub itu mengajarkan kita tentang ego kita. Ketika dia berkata, "Pulanglah ke rumahmu, pulanglah ke rumahmu!" Maksudnya adalah bahwa, "Wahai egoku! Jika kamu baik-baik saja, maka anak-anak ini tidak akan melempar batu kepadamu. Kamu harus kembali ke rumahmu, pada janji yang kamu buat kepada Tuhanmu. Pada Hari Perjanjian sebelum kamu datang ke dunia ini, Tuhanmu bertanya, 'Akukah Tuhanmu?' dan kamu menjawab, 'Betul, Engkaulah Tuhanku!' Saat kamu kembali pada janji tersebut, tak ada yang memberikanmu kesulitan. Ketika anak itu melemparkanmu dengan batu tersebut, wahai egoku, hal itu untuk menarik perhatianmu pada kenyataan bahwa kamu harus berhati-hati dengan janjimu kepada Tuhanmu. Kamu harus, oleh karenanya, pulang ke tanah negerimu, kembali kepada Tuhanmu.

"Kisah ini bermakna bahwa kamu tidak punya hak untuk marah terhadap orang lain. Kamu harus mengalihkan amarahmu kepada egomu sendiri! Kamu harus berpikir, "Jika saya baik-baik saja, maka semuanya akan baik-baik saja bersama saya. Jika saya tidak baik, maka orang tidak akan baik bersama saya." Jadi kita akan marah dan melawan hanya pada ego kita sendiri.

"Amarah terdiri dari dua macam," ujar Grandsyeh kami. "Yang pertama adalah amarah orang biasa. Orang biasa marah karena egonya, bukan karena Allah yang Maha Kuasa.

"Kamu bisa berkata, 'Bagaimana? Jika seorang melihat kesalahan, bukankah dia harus marah?' Betul, saya sependapat dengan kamu. Tapi pertama-tama, saya akan katakan padamu, mengapa kamu tidak marah dengan diri sendiri, dengan nafsumu? Jika kamu melihat kesalahan dan menjadi marah, kamu harus melihat pertama kali kepada diri sendiri, pada egomu! Marahlah padanya! Hukumlah karena kesalahanmu! Karena berbicara yang buruk, karena melihat yang haram; mengapa kamu tidak menghukum dirimu sendiri? Mudah untuk menghukum yang lain, terlalu mudah. Mudah untuk membunuh yang lain; bunuhlah, sebagai gantinya, egomu!

"Ketika kamu sedang marah, perbaharuilah wudu, dan ucapkan tiga kali syahadat dan tujuh puluh kali 'Astaghfirullah.' Inilah hukumanmu!"

Di sini, para murid, yang merasa gelisah untuk menghukum ego mereka, bertanya pada Syeh Nazim sebagai berikut:

"Apakah boleh berpuasa di siang hari dalam satu minggu?"

"Tidak," jawab Syeh, "tidak perlu. Sudah cukup."

"Tapi kami sudah menjalankan puasa. Setiap Senin dan Kamis sejak Ramadhan," seorang murid bersikeras.

"Tidak perlu," jawab Syeh. "Kamu boleh berpuasa dari pandangan yang haram. Kamu boleh berpuasa dari rasa marah. Kamu boleh berpuasa dari kata-kata buruk! Bukan makan atau minum - puasa macam itu saya tidak inginkan. Terlalu mudah beribadah tanpa makan. Saya tidak inginkan hal itu. Jangan berkata buruk, jangan melihat yang buruk, jangan marah, itu sulit. Begitu banyak orang berpuasa, tapi mereka marah tujuh puluh kali lipat sampai maghrib! Mereka berkata, 'Kita sedang puasa!' Bagaimana bisa kamu berpuasa jika kamu sedang marah!"

"Saya rasa itu sudah menggambarkan hampir semua puasa saya!"

"Nah?" Syeh tersenyum. "Sudah jelas, terang?" Beliau menoleh pada murid yang lain, dan bergurau, "Sekarang dia takut saya akan menghukumnya tiga hari tanpa makan!"

Maulana melanjutkan: "Amarah jenis kedua yaitu karena Allah yang Maha Kuasa. Ini hanya untuk mereka yang telah membunuh egonya."

"Saya rasa kita belum perlu khawatir mengenai hal itu," ujar salah seorang ikhwan.

"Betul," jawab Syeh, "kita masih terlalu jauh dari sifat tersebut!"

Saudara yang lain bertanya, "Apa yang anda lakukan terhadap anak-anak yang bertingkah nakal? Terkadang mereka bisa membuat anda marah."

Syeh Nazim menjawab, "Kamu boleh memberikan mereka 'tarbiya,' yaitu mendidik mereka dengan adab yang baik. Juga, 'taqlib,' yaitu membuat mereka takut akan ucapanmu. Ini ibarat berakting; suara yang galak, tapi sesungguhnya kamu tidak marah. Kamu juga boleh memukul mereka, tapi jangan pernah dengan amarah. Amarah dilarang!"

Pertanyaan lain: "Jika anda sedang berjihad, jika anda dalam perang, apakah lebih baik berperang tanpa amarah?"

Syeh menjawab, "Tanpa amarah." Ini mengembalikan beliau pada wacana awal: "Amarah karena Allah. Harus dalam Jihad, dalam perang, tapi amarah itu bukan untuk dirimu sendiri; untuk Allah. Grandsyeh kami menceritakan kisah Sayidina Ali (ra), yang bisa mendidik kita mengenai hal tersebut:

"Suatu ketika, selama perang Suci pada masa Rasulullah (saw), Sayidina Ali (ra) sedang berkelahi melawan seorang prajurit musuh dalam satu pertempuran yang ganas. Prajurit ini seorang pegulat yang kuat dan besar dan saat itu merupakan perlawanan yang sulit.

"Tiba-tiba, Ali (ra) berhasil melumpuhkan lawannya. Beliau menjatuhkannya ke tanah dan mengangkat pedang beliau guna membunuh orang tersebut. Pada saat yang sama, ketika pedang itu akan menyambar, prajurit yang kalah tersebut meludahi wajah Sayidina Ali!

"Sayidina Ali (ra) menurunkan pedangnya dan melihat musuh beliau. 'Bangun!' ucap beliau. 'Bangun! Saya tak bisa membunuhmu!'

"Si prajurit musuhpun terheran-heran. 'Mengapa engkau tak membunuhku, Ali?' dia bertanya. 'Mengapa engkau membiarkanku seperti ini? Bukankah aku musuhmu?'

"Sayidina Ali (ra) mengatakan: 'Ini karena aku telah dipenuhi dengan amarah egoku hingga aku tak bisa membunuhmu! Sebelum kamu meludahi wajahku, aku sedang berkelahi dengamu demi Allah. Tapi, ketika kamu meludahi aku, aku menjadi marah karena egoku! Oleh karena itu, aku tak bisa membunuhmu! Kamu boleh pergi.'

"Kata-kata ini menyentuh hati si prajurit yang kalah tersebut. 'Wahai Ali!' serunya, 'Engkau berada di jalan yang benar! Mohon bawalah aku kepada Rasulmu (saw)!'

"Kemudian, prajurit itu dibawa kepada Rasulullah (saw) dan di tangan Rasulullah, ia masuk Islam."

"Oleh karena itu," ujar Syeh Nazim, "jika amarahmu seperti ini, jika kamu seperti Sayidina Ali (ra), maka kamu juga, boleh marah. Bila sifatmu tidak seperti itu, kamu harus menyimpannya untuk dirimu sendiri!"



Sumber :
milis muhibbun_naqsybandi@yahoogroups.com
posted by Ermita Mangkona

Arsip Blog