Minggu, 10 Mei 2009

Guru Ruhani Sejati 32 - Permohonan Pertolonagn Pada Mursid Hakiki “Ya Syaikh, Madad!”, Istighatsa dan Isti’ana

Bagian 32
Permohonan Pertolonagn Pada Mursid Hakiki “Ya Syaikh, Madad!”, Istighatsa dan Isti’ana
Dr. Gibril Fuad Hadad


‘Al-madad’ berarti ‘tolonglah’. Madad ini pernah diajukan kepada Nabi Musa as oleh seorang dari kaumnya dengan istilah istighatsa, ‘dia memohon pertolongan’ dalam surat al-Qashash (Qs. 28:15) dan oleh Dzulqarnain dengan istilah a’iinuni ‘tolonglah aku’ pada surat al-Kahfi (Qs. 18:95). Kedua kata tersebut mempunyai akar yang sama dengan nasta’iinu, ‘kami memohon pertolongan’ dalam surat al-Faatihah.

Berikut ini adalah beberapa bukti dari Sunnah tentang ‘memohon pertolongan kepada seseorang yang tidak terlihat dalam situasi yang dibutuhkan.’

1. Al-Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya bahwa, ibu kita Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim as ketika berlari antara Safa dan Marwa untuk mencari air mendengar sebuah suara, lalu beliau memanggilnya, “Wahai engkau yang suaranya dapat terdengar! Jika ada seorang ghawts (pertolongan/ penolong) bersamamu, (maka tolonglah aku)!” Maka muncullah seorang malaikat di tempat keluarnya air zamzam.

2. Abu Ya’la bin al-Sunni dan at-Tabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang darimu kehilangan sesuatu atau mencari pertolongan atau seorang penolong (ghawts) dan dia berada di suatu tempat di mana tidak ada orang lain untuk dimintai pertolongan, maka katakanlah, “Wahai hamba Allah, tolonglah aku! (Ya ‘ibad Allah, aghitsuni), karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba yang tidak terlihat.” Al-Haythami berkata dalam Majma’ al-Zawaid (10:132), “Orang-orang dalam rantai transmisi (hadits) tersebut dapat dipercaya walaupun ada kelemahan di antara mereka.”

3. Al-Bayhaqi meriwayatkan dengan otoritas dari Ibnu ‘Abbas dalam Kitab al-Aadaab (hal. 426) dan dengan mata rantai kedua yang mawquf dari Ibnu ‘Abbas dalam Syu’ab al-Iman (1:445-466=1:183#167;6:128 #7697) dan yang ketiga dari Ibnu Mas’ud dalam Hayat al-Anbiya’ ba’da wafatihim (hal. 44), “Allah mempunyai malaikat-malaikat di bumi selain dari kedua pencatat (amal) yang terus mencatat segala kejadian termasuk setiap daun yang jatuh ke tanah. Oleh sebab itu jika salah seorang darimu mengalami lumpuh di tanah yang gersang di mana tak ada seorang pun yang terlihat, katakanlah, a’iinuu ‘ibaad Allaah rahimakum Allaah, “Tolonglah aku wahai hamba Allah, semoga Allah menyayangimu! Sesungguhnya dia akan tertolong jika Allah menghendakinya.” Ibnu Hajar berkata bahwa rantai transmisi hadits tersebut adalah baik (isnaduhu hasan) dalam Kitab al-amali. Diriwayatkan oleh at-Tabarani dalam al-Kabir dengan rantai transmisi yang baik (menurut Ibnu Hajar dalam al-Amali) dan menurut narator lisan al-Haythami (10:32), al-Bazar (#3128) sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Syawkani dalam Tuhfa al-Dhakirin (hal. 219 dan hal. 155-156) dan oleh Ibnu Abi Syayba (7:103).

4. Ibnu Abi Syayba menghubungkannya dalam kitab Musannaf (7:103) dari Aban bin Salih bahwa Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang darimu kehilangan hewan peliharaan atau untanya di tengah gurun di mana tidak ada seorang pun yang terlihat, katakanlah, “Wahai hamba Allah, tolonglah aku! (Yaa ‘ibaad Allaah a’iinuunii), sesungguhnya dia akan tertolong.”

Al-Zahawi dalam al-Fajr al-Sadiq memberikan sangkalan terhadap Wahhabisme, “Tidak dijelaskan apakah yang dimaksud dengan ‘hamba Allah’ dalam hadits di atas hanya dari golongan malaikat atau seorang Muslim atau dari kalangan Jinn atau manusia dari alam yang tak terlihat tetapi yang jelas mereka semua hidup. Oleh sebab itu hadits tersebut tidak memberikan bukti bahwa seseorang dianjurkan untuk memohon pertolongan kepada yang mati, tetapi bukan ini kasusnya. Kami menyebutkannya karena tidak ada yang tertera secara eksplisit dalam hadits bahwa yang dimaksud ‘hamba Allah’ adalah kategori yang telah disebutkan tadi, bukan yang lain. Tetap saja bila kita ingin meyakini hal ini, hadits tersebut tetap merupakan suatu bukti untuk menentang Wahhabi dari sudut pandang yang lain, yaitu memanggil seseorang yang tidak terlihat. Orang Wahhabi tidak lagi membolehkannya, daripada memanggil kepada orang yang telah meninggal.”

Al-Syawkani dalam Tuhfat al-Dhakirin (hal.155-156) juga membolehkan memanggil seseorang yang tidak terlihat, “Dalam hadits (merujuk pada a’iinu) ada suatu bukti yang menunjukkan bahwa memanggil atau memohon pertolongan kepada orang yang tidak terlihat di antara hamba Allah, baik itu malaikat atau Jinn diperbolehkan dan tidak ada salahnya melakukan hal itu, sebagaimana seseorang juga diizinkan untuk mencari pertolongan jika kuda tunggangannya menjadi tidak terkontrol atau hilang.”

5. Ahmad menyatakan dalam Musnad-nya (4:217) bahwa pada saat datangnya fitnah terbesar dari al-Masih Dajjal, ketika ummat Muslim berada pada kondisi terlemah sebelum kedatangan Nabi ‘Isa bin Maryam, saat shalat Subuh seorang penyeru berteriak tiga kali, “Wahai manusia, al-ghawts (penolong) telah datang kepadamu!”

6. Ibnu Katsir dalam buku sejarahnya, al-Bidaya wal-Nihaya (7:91, tahun 18) meriwayatkan bahwa ‘Umar ra mencari pertolongan dan terbebas dari rasa haus dan lapar di Madinah dengan menulis kepada ‘Amr al-As dan Abu Musa al-Asy’ari di Mesir dan Basra secara berturut-turut dengan ucapan, “Yaa ghawtsaah li Ummati Muhammad saw, Tolong! Tolong! untuk ummat Muhammad saw!” Jika ini bukan istighatsa dan isti’aana maka tidak akan ada istighatsa dan isti’aana.

Al-Zahawi berkata dalam al-Fajr al-Sadiq,

al-Subki, al-Qastallani dalam al-Mawahib al-laduniyya, al-Samhudi dalam Tarikh al-Madina, dan al-Haythami dalam al-Jawhar al-Munazzam berkata bahwa mencari pertolongan kepada Rasulullah saw dan Rasul lainnya atau kepada orang-orang shaleh, hanya merupakan salah satu jalan dalam mencari pertolongan Allah demi kemuliaan dan martabat mereka (bi jahihim). Orang yang meminta pertolongan, memohon kepada Allah memohon agar Dia memberi pertolongan baginya (ghawts) dari orang yang posisinya lebih tinggi darinya. Pada kenyataannya orang yang dimintai pertolongan adalah Allah .

Dalam realitasnya Rasulullah saw hanya sebagai perantara (wasita) antara orang yang memohon pertolongan dengan Yang dimintai pertolongan. Oleh karena itu jelaslah bahwa pertolongan itu berasal dari-Nya baik dalam hal penciptaan (khalqan) maupun kejadiannya (ijadan), sementara pertolongan dari Rasulullah berhubungan dengan sebab sekunder (tasabbuban) dan pemberian dari Allah (kasban).

Sebagaimana do’a yang umum dilakukan oleh Muslim dalam bahasa Arab, seperti, “Yaa ‘Abd al-Qadir Gilani, lihatlah Aku (Yaa ‘Abd al-Qadir al-Gilani adrikni)!” dan “Yaa Ahmad al-Badawi, berikanlah dukungan kepada kami (Yaa Badawi madad)!” Itu merupakan bahasa kiasan yang terlintas dalam pikiran, sebagaimana ketika orang berkata kepada makanannya, Kenyangkan Aku!” atau kepada airnya, “Puaskan dahagaku!” atau kepada obat, “Sembuhkan Aku!” Makanan tidak mengenyangkan, begitu pula air tidak melepaskan dahaga dan obat tidak menyembuhkan, yang melakukan semua itu adalah Allah semata. Makanan, minuman, obat hanyalah proksimat atau sebab sekunder yang melekat pada benda-benda tertentu yang biasa kita asosiasikan dengan kejadian-kejadian yang cocok dalam pikiran kita.

Syaikh Khayr al-Din Ramli dalam Fatawa Khayriyya (hal.180-181) ditanya tentang, “mereka yang mengatakan, ‘Wahai Syaikh ‘Abd al-Qadir! Wahai Syaikh Ahmad! Wahai Rifa’i [Berikanlah kami] sesuatu demi Allah (syay’un lillah) Wahai ‘Abd al-Qadir! Dan seterusnya. Pada saat itu mereka menjadi sangat terpesona dan mengalami suatu keadaan yang dapat membuat mereka melompat-lompat, naik dan turun.’ Dia menjawab, semoga Allah memberi berkah kepadanya, “Ketahuilah bahwa hal terpenting di antara semua peraturan yang sudah lazim dan diterapkan secara ketat dalam semua kitab para Imam Mahzab adalah peraturan yang mengatakan bahwa sesuatu itu dinilai menurut keadaan akhirnya…sebagaimana yang diambil dari hadits Syaikh al-Bukhari dan Muslim: segala perbuatan tergantung niatnya… dan tak seorang pun yang menyangkal realitas para Sufi kecuali orang-orang yang sangat bodoh dengan jiwa yang bodoh.” Dan Allah Maha Mengetahui.

Wa min Allah at Tawfiq

Lihat juga halaman yang relevan, di http://www.sunnah.org/publication/encyclopedia/html/tawassul.htm


Riwayat lain yang juga relevan Oleh Raffiq Ahmed

1. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, bahwa Rasulullah bersabda,
“Sesunggunya matahari akan tertarik sangat dekat di Hari Kebangkitan sehingga keringat akan mencapai bagian tengah telinga, kemudian (ISTIGHAATSUU bi aadam tsumma bi muusaa tsumma bi muhammadin shallallaahu ‘alayhi wa sallama) mereka mencari pertolongan kepada Adam as, lalu Musa as dan Muhammad saw yang akan menjadi perantara (fa yasyfa’u) . Dn pada hari itu Allah akan mengangkatnya ke tempat yang mulia sehingga semua orang yang berdiri (termasuk orang-orang kafir) akan memuliakannya (yahmaduhu ahlul-jam’I kulluhum). [Sahiih al-Bukhaarii (Qadiim Kutub Khaana, Karachi, 1381H), 1:199 (bandingkan dg. Prof. Tahir-ul-Qadri, ‘Aqida-e-tawassul, p.)]

Sudah tentu mereka tidak akan lupa kepada Allah pada hari itu. Orang-orang yang mencari pertolongan kepada para Rasul dan Anbiya sama saja dengan menjadikan mereka sebagai jalan (wasila) kepada Allah dan hadits tadi melanjutkan bahwa perantaraan Nabi Muhammad saw akan diterima. Apakah mereka yang menentangnya di kehidupan ini akan mendapat keistimewaan seperti itu di hari kemudian? Inilah alasannya mengapa Ala Hazrat menyatakan, “aaj madad maang un se, aaj panaa le un se, qal na maanenge qayaamat” “ambillah madad-nya sekarang, ambillah pana-nya, bisa jadi nanti pada hari kiamat tidak diterima.”

2. Kutipan berikut berasal dari Syaikh ‘Ali Mahfuz yang wafat pada 1361 H (19420 dan merupakan salah satu ulama besar dari Jami’ al-Azhar (Mesir), yang sangat menghormati Ibnu Taymiyya dan Muhammad ‘Abduh dalam bukunya al-Ibada’. Namun demikian beliau mengatakan, Tidak benar untuk mengatakan bahwa para Awliya (rahimahum-Allahu ta’ala) mengatur urusan dunia setelah kematiannya, seperti menyembuhkan penyakit, menyelamatkan orang yang hampir tenggelam, menolong orang yang sedang melawan musuh dan menemukan sesuatu yang hilang.

3. Adalah salah bila mengatakan hal itu, sebab para Awliya sangat agung, Allah telah meninggalkan tugas ini untuk mereka dengan kata lain mereka mampu melakukan apa yang mereka inginkan atau mereka yang dekat dengannya tidak akan pernah salah. Tetapi baik mereka telah meninggal atau pun masih hidup, Allah memberi berkah kepada mereka dan melalui karamat mereka, Allah menyembuhkan penyakit, menyelamatkan orang yang hampir tenggelam, menolong orang yang sedang melawan musuh dan menemukan sesuatu yang hilang. Ini adalah hal yang logis. Al-Qur’an al-karim juga menunjukkan fakta-fakta ini.” [Syaikh ‘Ali Mahfuz, Al-Ibda’, hal.213, Kairo, 1375H (1956); Abdullah ad-Dasuqi dan Yusuf ad-Djawi, professor di Jami’ al-Azhar, menulis pujian di bagian akhir buku ini. (lihat The Sunni Path)]

4. Terakhir, Hadits asy-Syarif yang terdapat dalam Sahihayn, yaitu dua kitab hadits yang orsinil, satu oleh al-Bukhari dan yang lainnya oleh Muslim. Hadits itu menyatakan bahwa Rasulullah saw mengunjungi makam para syuhada dalam perang Uhud tepat SATU TAHUN setelah mereka wafat. Sebuah mimbar DIBANGUN di sana sebagai tempat Rasulullah menyampaikan pesannya. ‘Uqba bin Amir, yang meriwayatkan hadits ini berkata, Rasulullah saw menaiki mimbar. Itu merupakan kali terakhir Aku melihat beliau menaiki mimbar. Beliau menyatakan, “Aku tidak mengkhawatirkan kalian akan menjadi politheis setelah Aku meninggal. Aku khawatir, karena ketertarikan terhadap dunia, kalian akan saling membunuh dan musnah seperti suku-suku terdahulu.”

Seorang ulama besar, Syaikh Sulayman bin ‘Abd al-Wahhab an-Najdi (rahimah-Allahu ta’ala), penulis buku “as-sawaa’iq al-ilaahiyya” berkomentar terhadap hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam sangkalannya terhadap adiknya dan gerakan pembelotan yang dipeloporinya atas kerjasama dengan Inggris dan keluarga al-Saud, “Rasulullah saw telah meramalkan semua kejadian yang akan menimpa ummatnya sampai Hari Kebangkitan. Hadits sahih ini menyatakan bahwa ummat Rasulullah tidak akan menyembah berhala, dan beliau telah menjamin hal itu.

Hadits asy-Syarif ini dengan demikian memupuskan Wahhabisme sampai ke akar-akarnya, karena mereka mengklaim bahwa Ummat al-Muhammadiyya menyembah berhala, bahwa negara-negara Muslim penuh dengan berhala, makam adalah tempat menyembah berhala. Mereka juga mengatakan bahwa seseorang menjadi kafir karena tidak percaya bahwa mereka yang mengharapkan pertolongan atau perantaraan di tempat-tempat keramat adalah kafir. Tak satu pun ulama Islam yang menyatakan bahwa Muslim seperti itu adalah politheis, mereka tetap menghormatinya sebagai Muslim.” [Sulaiman bin ‘Abd al-Wahhab an-Najdi, As-sawa’iq al-ilahiyya fir raddi ‘alal-Wahhabiyya (Nukhbat al-Akbar press, Baghdad, 1306 AH), hal.44 (Bandingkan dg. Nasihat untuk Muslim, bab.5)]

Wa min Allah at taufiq



Dikutip dari http://mevlanasufi.blogspot.com

Arsip Blog