Minggu, 10 Mei 2009

Guru Ruhani Sejati 17 - Awliya Allah, Para Kekasih Allah dan Para Mursyid Sejati

Bagian 17
Awliya Allah, Para Kekasih Allah dan Para Mursyid Sejati
Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Damascus 2000


“Para Nabi dan Awliya’ (kekasih Allah) serta mu’min (orang beriman) tidaklah mati dengan cara seperti yang tertangkap oleh indera biasa, karena doktrin Ahl as-Sunna menyatakan bahwa ruh tidaklah hancur atau lenyap, melainkan berpindah menuju lain tempat dan memasuki suatu keadaan tak terlihat setelah sebelumnya dibusanai dengan keterlihatan selama masa hidupnya di muka bumi. Saat kematian, yang terjadi tidak lain adalah suatu perpin dahan dari wujud barzakhi yang satu ke bidang lain dari wujud barzakhi.

Tidak pula ruh-ruh tersebut terkungkung dalam suatu daerah dari kubur atau makam mereka, melainkan sebagaimana Imam Malik berkata [dalam Muwatta’]: “Telah sampai (diriwayatkan) pada kami bahwa ruh-ruh Mu’min (orang-orang yang beriman) datang dan pergi dengan bebas.” Dan ini pun telah dikonfirmasi oleh huruf dan ayat dalam Qur’an Agung dalam ayat: “farawhun wa rayhanun wa jannatu na`im” (QS. 56:89) [yaitu “maka dia memperoleh rezki serta surga kenikmatan.”] karena akar kata dari rawh yaitu rawaha berarti untuk melakukan perjalanan dan untuk pergi.”

“Nabi saw suatu saat pernah terlihat oleh seorang awliya’ di atap Al-Azhar di Mesir. Sang wali berkata pada Nabi saw: “Mereka mengatakan bahwa Anda telah mati.” Nabi saw menjawab: “Semua dapat melihat diriku dan berbicara padaku kecuali mereka yang terhijab.” Dan para awliya’ melihat, berbicara dengan, mendengar, dan mencium bau Nabi saw. Artinya, adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Nabi telah wafat, namun yang lebih tepat adalah kita katakan bahwa beliau telah meninggalkan keadaan terlihat, beliau telah terhijab dari diri kita.”

Cahaya para Awliya’

Salah seorang murid dalam majelis berkata pada sang Syaikh: “Istri saya berkata pada saya: Bagaimana mungkin, jika dirimu menghadiri begitu banyak majelis Salawat atas Nabi saw, tapi tidak ada cahaya bersinar dari wajahmu?” Aku berkata pada diriku sendiri: Ia benar, ini karena aku tidak tulus (sadiq). Sang Syaikh bertutur: “Semakin sabar seorang Wali terhadap istrinya, semakin tinggi maqam-nya. Dan semakin sedikit cahaya-nya nampak, semakin tinggi maqam-nya. Sidi al-Sya’rani bertanya pada Syaikhnya ‘Ali al-Khawwass mengapa hal itu demikian dan yang terakhir menjawab: “Jika cahaya seorang Muslim yang tak patuh disingkapkan bagi semuanya untuk melihatnya, maka cahaya itu akan mengisi segala sesuatunya yang terletak di antara bumi dan tujuh langit; dan jika cahaya seorang Wali dari Awliya’ disingkapkan, orang-orang akan lupa atas Allah (terkesima atas keindahan cahaya tadi) dan tidak lagi menyembah-Nya. Tapi cahaya itu disembunyikan, semata-mata karena rahmat dan kasih sayang bagi para hamba Allah.””

“Kesamaan seorang wali di antara keluarganya adalah bagai seekor keledai lokal. Mereka memukulnya, mereka membebaninya, mereka tidak menghormatinya. Namun, ketika seekor keledai liar muncul, mereka berlari kepadanya untuk baraka. Sama seperti itu pula, seorang wali tidak dihormati oleh kaumnya sendiri tetapi ketika ia pergi keluar menemui kaum lainnya, mereka memberinya pengakuan.”

“Salah seorang awliya’, Sidi al-Rawwas – menjadi demikian jenuhnya atas pelecehan dari kaumnya – ia berjalan dan mereka bahkan tidak lagi membalas salamnya – ia pun meninggalkan kotanya dan berkelana. Ia berhenti pada Maqam dari Sidi Ahmad al-Sayyad. Di sana ia salat dan beristirahat. Kemudian ia melihat seseorang datang dan ilham datang ke kalbunya bahwa orang tersebut adalah al-Khidr (as). Orang itu salat dua raka’at dan kemudian duduk di samping al-Rawwas. Al-Rawwas menceritakan kesulitannya. Orang tadi menjawab dengan mengutip suatu ayat Qu’ran: “Wa man nu’ammir-hu nunakkis-hu fi-l khalqi” “Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan mereka kepada kejadian(nya).
(membuatnya kembali menjadi lemah setelah kuat)” (QS. 36:68). Al-Rawwas berkata: “Aku memahami makna tersembunyinya dalam lubuk batinku yang terdalam.” Bermakna: Siapa pun yang telah diangkat mencapai kedudukan-kedudukan yang tinggi secara batiniah, akan mendapatkan perlakuan buruk secara lahiriah.”

Wa min Allah at Tawfiq



Dikutip dari http://mevlanasufi.blogspot.com

Arsip Blog