Minggu, 10 Mei 2009

Guru Ruhani Sejati 12 - Dua Karakter Wali Allah, Mursyid Sejati (Islam Bersifat Dinamis, tidak Pasif)

Bagian 12
Dua Karakter Wali Allah, Mursyid Sejati (Islam Bersifat Dinamis, tidak Pasif)
Syaikh Nazim al Haqqani dalam Mercy Oceans (Book Two)


Syaikh ‘Abdullah Faiz ad Daghestani berbicara tentang dua karakter yang dimiliki oleh Mursalin, yaitu: memiliki himma, aspirasi tinggi dan dinamis, tidak pernah malas. Kedua karakter itu merupakan warisan Mursalin. Mereka sangat ringan dalam bekerja karena jiwa mereka berasal dari surga. Sifat malas berasal dari Setan. Kalian tidak dapat menemukan seorang Rasul yang duduk bermalas-malasan dan menikmati dunia atau meminta istirahat. Mereka bagaikan sungai yang selalu mengalir menuju ke laut. Setiap Wali bersifat dinamis. Makin tebal iman seseorang, ia akan semakin aktif. Tidak ada tindakan berarti tidak beriman. Ada 500 kebaikan dari Sunnah Rasulullah saw..

Al-Qur’an mengatakan, “Ketika kamu telah selesai dari suatu pekerjaan, kerjakanlah pekerjaan berikutnya.” Kita dianjurkan agar selalu aktif dalam segala situasi, inilah bimbingan yang terbaik bagi kita. Setiap agama tidak mengajurkan para pemeluknya untuk bermalas-malasan. Beberapa orang menganggap bahwa Islam membuat orang menjadi pasif (Agama adalah racun bagi masyarakat). Mereka sebenarnya adalah para pembohong yang tidak mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Mereka mempelajari suatu ilmu di Barat lalu mengklaim hal tersebut. Saya merasa prihatin terhadap gejala ini. Sebelum Islam datang, bangsa Arab laksana tertidur dan menjadi budak bangsa Roma dan Persia. Setelah Islam datang, mereka sanggup menaklukkan daerah-daerah di pesisir Samudra Atalantik hingga Samudra Hindia.

Syaikh ‘Abdullah Faiz ad Daghestani berkata bahwa setiap orang yang aktif akan masuk surga, sebaliknya orang-orang yang malas akan masuk Neraka. Bahkan bagi orang-orang yang aktif dalam mengejar dunia, keaktifannya itu akan membimbingnya menuju kebaikan pada akhirnya, bagaikan air deras yang mengalir dari hulu di pegunungan menuju hilir di dataran rendah dan memberi manfaat. Untuk berjuang melawan ego, seseorang harus mempunyai sifat dinamis. Seseorang yang mendaki gunung harus memiliki energi, sebaliknya untuk menuruni gunung sifat dinamis tidak terlalu diperlukan. Orang-orang yang duduk-duduk di sebuah pub atau kafe tidak bisa disebut sebagai orang yang dinamis, mereka justru pemalas. Orang yang bekerja dengan serius dan menghasilkan karya yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh banyak orang mempunyai sifat yang diwariskan oleh Rasulullah .

Mengatasi kemalasan hanya dapat dilakukan dengan iman. Yang mempunyai motivasi tertinggi adalah Mursalin (Rasul), disusul Awliya (Wali Allah) dan para Mukmin, tergantung pada tingkat kekuatan imannya. Dalam setiap agama para pengikutnya diajarkan untuk mengikuti jejak dan ajaran Rasulnya dan para penerus dari Rasul itu. Sekarang inilah jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan tadi. Dengan diri kita sendiri, kita hampir tidak mungkin bergerak. Setiap Mukmin yang menginginkan sifat malasnya dihilangkan harus mempunyai hubungan personal dengan seorang Wali yang masih hidup. Dia harus menemukan salah satu Wali dan mengambil bay’at darinya, lalu dia juga bisa mendapatkan kebaikan dari Awliya di makam mereka.

Setiap Wali yang asli pasti meninggalkan deputi bagi dirinya. Tanpa deputi seorang Wali tidak akan bisa melangkah. Awliya adalah sumber motivasi. Apakah yang menjadi kondisi utama untuk mencapai Wali meminta motivasinya? Kondisi tersebut adalah usaha, bergerak atau beraksi. Sebuah mobil akan memberikan jasanya kepadamu bila kalian masuk ke dalamnya lalu menyalakan mesinnya. Jika kalian hanya duduk saja seperti penumpang, bagaimana mobil itu bisa dikendarai? Himma siap siaga selalu, tetapi kalian harus menyalakannya (bagaikan mesin mobil tadi). Kalian mengambil tasbeh, bersiap untuk berdzikir, tetapi begitu banyak alasan yang datang kemudian, “Tidak sekarang deh, nanti saja…”

Jika kalian mengatakan, “Kamu harus duduk,” kemudian mencoba mentautkan hatimu dengan hati Grandsyaikh, barulah dzikir dapat dilakukan sehingga motivasi dapat tercapai. Tanyakanlah kepadanya apakah dia terlalu lelah untuk makan. Apakah seseorang terlalu lelah untuk aktivitas seksual? Tidak, dia seperti singa. Si wanita berkata, “Kamu lelah,” “Tidak, Saya tidak lelah.” Jawab sang suami. Tanpa bergerak, kalian tidak berhak untuk mengharapkan suatu motivasi dari Rasulullah saw atau melalui seorang Wali Allah.

Wa min Allah at taufiq

Catatan:
Dalam artikel ini sering kali dijumpai kata-kata yang hampir serupa seperti Wali dengan Awliya dan sebagainya, sebenarnya itu adalah bentuk tunggal dan jamak dari kata yang sama. Kata-kata yang lain, contohnya: tunggal—jamak: Rasul—Mursalin, Nabi—Anbiya
Wali—Awliya, Habib—Habaib, Sahabat—Ashabi, Syaikh—Masyaikh atau Syuyukh, Malaikat—Malaaikat
Dalam kasus lain, Syarif menunjukkan pria sedangkan Syarifah merujuk kepada wanita atau sesuatu yang lebih indah, misalnya Surga atau guru yang tingkatannya lebih tinggi.



Dikutip dari http://mevlanasufi.blogspot.com

Arsip Blog